Tuesday, May 17, 2011
Makhluk itu Bernama Ujian Nasional
Adalah Paijan, putra sulung dari pasangan Dul Kemit dan Maimunah yang masih duduk di kelas XII pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) swasta di Kota Berantah. Paijan termasuk sosok yang cerdas ketika dihadapkan dengan dunia otomotif sesuai dengan jurusan yang diambil pada SMK tersebut. Apapun permasalahan yang berkaitan permesinan, baik 2 tak maupun 4 tak, mulai dari yang sederhana sampai yang sangat sulit pun hampir dipastikan dapat selesai oleh tangan terampil Paijan. Bahkan pernah suatu ketika dia diminta bantuan sebuah perusahaan skala menengah (via tetangganya) untuk memperbaiki salah satu mesin genset yang kondisinya cukup parah, dan ditangan Paijan dalam waktu yang tidak begitu lama menjadi normal kembali. Intinya kalau berhubungan dengan dunia permesinan Paijan sudah tergolong mumpuni berkat kemauan belajar baik di sekolah maupun di bengkel milik orang tuanya.
Pagi tadi, dengan semangat 45 Paijan berangkat ke sekolah guna mengetahui hasil kelulusan Ujian Nasional yang beberapa saat lalu dia ikuti. Tapi apa yang terjadi…..??? Dengan wajah pucat dan badan gemetaran dia harus menerima kenyataan bahwa dia dinyatakan tidak lulus ujian nasional, karena nilai Bahasa Indonesia dibawah standar. Paijan, sosok yang mumpuni di bidangnya tapi harus menanggung malu dan frustasi akibat makhluk yang bernama Ujian Nasional….
Itulah Potret pendidikan kita, Ujian Nasional yang gembar-gemborkan pemerintah ternyata tidak mampu menyelesaikan dan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal ilmu pengetahuan, teknolohi, seni, olah raga, dan budayai. Ujian Nasional tidak mampu melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, Ujian Nasional tidak akan mampu menyediakan informasi yang akurat mengenai mutu pendidikan.
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan Nasiona, bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah sistem evaluasi dalam bentuk Ujian Nasional dapat menjawab semua informasi yang diperlukan dalam pencapaian tujuan tersebut? Apakah Ujian Nasional dapat menilai kemampuan, keterampilan dan keahlian anak pada bidangnya? Apakah Ujian Nasional dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa? Apakah Ujian Nasional dapat menjawab tingkat kreativitas dan kemandirian peserta didik? Apakah Ujian Nasional dapat menjawab sikap demokratis anak? Dapatkah Ujian Nasional memberikan semua informasi tentang tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan tersebut?
Jika seorang anak yang berpotensi dibidang teknologi tentunya tidak bisa dipaksakan untuk menguasai pelajaran Bahasa Indomesia kalau dia sendiri tidak menyukainya dan berpikir tidak relevan dengan bidang teknik yang digelutinya. Demikian dengan potensi-potensi yang lain. Memperlakukan semua anak dengan memberikan Ujian Nasional sama artinya menganggap semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya berbeda.
Evaluasi adalah penting guna mengetahui sejauh mana keluaran (out put) pendidikan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Namun evaluasi harus bersifat objectif, adil dan harus mampu memberikan informasi yang akurat tentang peserta didik.
Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka (Soedijarto, 1993a:17). Untuk itu evaluasi harus mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara mengafal saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena cukup dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat mengerjakan tes. Sebagai konsekuensinya harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan. Selain itu pendidikan harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata lain evaluasi tidak bisa dilakukan hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan…….!!!
Salam………..
Eko Sms
Baca Selanjutnya.....
Subscribe to:
Posts (Atom)