Oleh: Eko Sumarsono, ST **)
Pertama, segala puji bagi Allah yang sampai hari ini tak kurang-kurangnya memberikan nikmatNya kepada kita sekalian. Sungguh, jika seluruh lautan di dunia ini digabungkan menjadi tinta, tidak akan cukup untuk menuliskan ilmu Allah, juga tidak akan pernah selesai menuliskan nikmat yang diberikanNya kepada manusia.
Indonesia hari ini, yakni Indonesia yang tidak henti-hentinya mendapat Ujian dan cobaan dari Allah SWT. Krisis multi dimensi, tragedi silih berganti, bencana datang bertubi-tubi, mulai dari tanah longsor, banjir bandang, kekeringan, gempa, gunung meletus, angin puting beliung bankan juga tsunami yang tidak sedikit menyebabkan kerugian baik materiil maupun korban manusia. Inilah realitas yang harus kita hadapi. Apakah arti dari semua ini? Mungkinkah ini pelajaran untuk kita semua? Masihkah mata kita tidak melihat? Ataukah telinga kita masih tersumbat? Atau belumkah akal kita belum juga sadar dan mengerti? Atau malah hati kita telah terkunci? .
Ke-egois-an; mungkin itu jawaban sederhana yang cukup mewakili. Keegoisan manusia menyebabkan cenderung menjadi korup, alam dirusak untuk kepentingan diri sendiri, hutan dan lautan di ganti menjadi lahan kering, sungai menjadi tong sampah, sehingga ekosistem menjadi terganggu, terjadi wabah penyakit dan bencana alam datang bertubi-tubi.
Semestinya kita belajar dari semua yang pernah terjadi agar tidak terulang kembali dengan mengubah cara berprilaku dalam memanfaatkan alam. Prilaku yang cenderung negatif dalam pengelolaan alam perlu segera diubah karena dapat mengakibatkan rusaknya alam (lingkungan) juga akan merugikan manusia itu sendiri.
“ Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. QS. Ar Rum : 41
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan, sebagaimana firmanNya :
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”. QS. Asy Syu`araa`: 183
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. QS. Al A`raaf : 56
Alam merupakan anugerah tak terhingga yang diperuntukkan Allah SWT bagi manusia. Perilaku-perilaku yang minus terhadap alam diantaranya, menggunduli hutan, membuka ladang dengan cara membakar, membuang sampah sembarangan, membuang limbah pabrik ke sungai atau laut, membangun rumah di daerah aliran sungai dan sebagainya harus kita ubah dengan kesungguhan hati sehingga alam kembali menjadi asri dan sedap dipandang mata.
Melakukan Perubahan prilaku sosial tentu menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Langkah yang paling sederhana yakni memulai dari diri kita, keluarga kita dan lingkungan dimana kita berada. Memberikan pemahaman yang baik kepada keluarga, terutama anak-anak sebagai generasi pelanjut untuk menjaga dan mencintai lingkungan merupakan cara strategis dan sangat memungkinkan untuk kita lakukan. Diharapkan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa menjadi sensitip terhadap lingkungan sehingga lingkungan yang baik dan sehat.akan selalu dijaganya dan sebaliknya jika melihat lingkungan kotor dan tidak sehat.maka akan dicarikan pemecahannya agar lingkungannya menjadi bersih dan sehat.
Sudah saatnya kita saling mengingatkan betapa pentingnya peranan lingkungan bagi umat manusia. Untuk itu pendidikan dan penyuluhan tentang lingkungan yang sehat menjadi sangat penting untuk segera dilakukan sehingga tidak ada kesempatan bagi perilaku negatif untuk meluas.
Freire dengan Conscientation nya menyatakan bahwa upaya untuk mencerdaskan rakyat hanya dapat dilakaukan melalui penyadaran, tentunya harus memperhatikan karakteristik masyarakat yang dihadapi. Ini disebabkan karena setiap komunitas memiliki budaya dan karakterististik yang berbeda satu sama lainnya, sehingga tidak mungkin hanya dengan satu pendekatan atau cara untuk menyadarkan mereka. Ini artinya dalam rangka mencerdaskan rakyat harus didesain sedemikian rupa sehingga mereka merasa senang untuk berbuat, dan tidak terbebani, yang pada akhirnya akan memberikan hasil yang optimal.
Mengapa keluarga harus dilibatkan. KELUARGA memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan kesehatan mental anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya, yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Agama memberikan petunjuk tentang tugas dan fungsi orang tua dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya berada dalam jalan yang benar, sehingga terhindar dari malapetaka kehidupan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. QS. Attahrim : 6
Rasulullah saw. dalam salah satu hadisnya bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tauhiidulllah), karena orang tuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi" (H.R. Bukhari & Muslim, dalam Panitia Mudzakarah Ulama, 1988).
Berkenaan dengan peran keluarga (orang tua) dalam mendidik anak, Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ikhtisar Ihyau Ulumuddin terjemahan Mochtar Rasjidi dan Mochtar Jahja (1966:189) mengemukakan bahwa anak merupakan amanat bagi orang tuanya, dia masih suci laksana permata, baik atau buruknya perkembangan anak, amat bergantung kepada baik atau buruknya pembiasaan yang diberikan kepadanya.
Keluarga merupakan aset yang sangat penting, individu tidak bisa hidup sendirian, tanpa ada ikatan-ikatan dengan keluarga. Begitu menurut fitrahnya, menurut budayanya, dan begitulah perintah Allah SWT. Keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap seluruh anggotanya sebab selalu terjadi interaksi yang paling bermakna, paling berkenan dengan nilai yang sangat mendasar dan sangat intim (Djawad Dahlan, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja, 1994:49).
Keluarga mempunyai peranan penting karena dipandang sebagai sumber pertama dalam proses sosialisasi (Uichol Kim & John W. Berry). Keluarga juga berfungsi sebagai transmitter budaya, atau mediator sosial budaya anak (Hurlock, 1956; dan Pervin, 1970). Termasuk budaya bersih, sehat dan cinta Lingkungan.
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan. Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam.
Kesehatan, yang terambil dari kata sehat; dan Afiat. Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata "afiat" dipersamakan dengan "sehat". Afiat diartikan sehat dan kuat, sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit).
Walaupun Islam mengenal hal-hal tersebut, namun sejak dini perlu digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan, yaitu melalui pengertian yang dikandung oleh kata afiat.
Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda, kendati diakui tidak jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri sendiri), karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut.
Pakar bahasa Al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat bahwa kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti "dan" adalah kata penghubung yang sekaligus menunjukkan adanya perbedaan antara yang disebut pertama (sehat) dan yang disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu, dipahami adanya perbedaan makna di antara keduanya.
Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw. ditemukan sekian banyak doa, yang mengandung permohonan afiat, di samping permohonan memperoleh sehat.
Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat maupun membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang dapat melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.
Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal berbagai jenis kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai "ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan (tuntunan-Nya), dan memelihara serta mengembangkannya."
Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis kesehatan itu.Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad Saw.: ”Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu”.
Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu. Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai dengan meletakkan prinsip: ” Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.”
Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk Kitab Suci dan Sunah Nabi Saw. yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan. Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan digandengkan dengan taubat dalam surat Al-Baqarah (2): 222:
”Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat, dan senang kepada orang yang membersihkan diri.” Al-Baqarah: 222
Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan kesehatan fisik. Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah:
“ Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah “QS Al-Muddatstsir: 4-5.
Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan ajaran agama dan membesarkan nama Allah Swt. Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang berbunyi: ” Kebersihan adalah bagian dari iman ”.
Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha'if. Kendati begitu, terdapat sekian banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw.: ” Iman, terdiri dan tujuh puluh sekian cabang, puncaknya adalah keyakinan bahwa "Tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan”.
Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal karantina, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam salah satu sabdanya.
Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya.
Begitu akan menjadi berarti ketika kita bisa memberikan kontribusi demi kemaslahatan umat. Ketika kita hanya menyalahkan masalah yang ada disekeliling kita, maka itulah masalah sebenarnya. Bukan saatnya lagi kita terus mengkritik, tetapi bagaimana kita bisa menjadi solusi atas setiap masalah yang ada. Syukur atas semua nikmat yang diberikan Allah, itulah kuncinya.
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". QS. Ibrahim : 7
**) Dibuat sebagai pra-syarat dalam mengikuti Seminar dan Workshop Kesehatan dan Lingkungan Hidup oleh Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah pada hari Jumat - Minggu, 25 - 27 Januari 2008 di LPMP Jl. Kyai Mojo Srondol Semarang Jawa Tengah
**) Eko Sumarsono, ST: Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Provinsi Kepulauan Riau
Baca Selanjutnya.....